بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ
حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا
وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ
أَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا
بَعْدُ:
K
|
itab Manzhumah
Al-Baiquniyyah (atau Al-Baiquniyah) yang disusun oleh Imam
Al-Baiquni merupakanmatan musthalah hadits rujukan dan
banyak disyarah oleh ulama tetapi semua berbahasa ‘Arab. Saya pun memandang
perlu ikut serta dalam amal agung ini dengan mensyarahnya menggunakan bahasa
Indonesia yang mudah dimengerti orang pribumi dengan ungkapan yang ringkas,
padat, tidak berpanjang lebar, dan selalu disertai dalil pada setiap
pembahasan. Saya berusaha memberikan contoh yang paling mengena dan mencukupi
tanpa berpanjang lebar. Syarah ringkas ini bukanlah buah pikir saya pribadi,
tetapi saya rangkum dari beberapa kitab musthalah dan yang
paling banyak dari At-Taudhîhul Mukhtashar ‘alal Manzhûmah
Al-Baiqûniyyah karya Syaikh Sa’id Da’as, At-Ta’lîqât
Al-Atsariyyah ‘alal Manzhûmah Al-Baiqûniyyah karya Syaikh ‘Ali Hasan
Al-Halabi, dan Taisîru Musthalahil Hadîts karya Dr. Mahmud
Thahhan.
Koreksi dan masukan pembaca
sangat diharapkan atas kekhilafan saya dalam buku ini. Semoga Allah menerimanya
sebagai pemberat timbangan dan menerima amal kebaikan saya, orang tua saya,
pembaca, dan seluruh orang Islam. Allahu Waliyyul Mukminin.
«رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ»
«وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَٰهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ»
Semoga shalawat dan salam
tercurah kepada pemuka para ahli hadits Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
keluarganya, para Shahabatnya, dan para penghafal hadits seluruhnya.
Selesai ditulis pada 22 Ramadhan
1436 H
Surabaya, Jawa Timur
Nor Kandir
المَنْظُومَة
البَيقُونِيَّة
بسم
الله الرحمن الرحيم
١
- أَبْدَأُ بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً عَلَى ... مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلَا
Aku memulai dengan memuji Allâh dan bershalawat kepada Muhammad Nabi
terbaik yang diutus
٢
- وَذِي مِنَ اقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ ... وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى وَحَدَّهْ
Inilah pembagian hadits yang banyak dan setiap bagian datang dengan ciri
khasnya
٣
– أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ ... إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ
يُعَلْ
Yang pertama hadits shahih yaitu yang sanadnya bersambung
tanpa adanya syadz dan‘illat
٤ - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ ...
مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Yang diriwayatkan oleh perawi
adil dan dhabit dari yang semisalnya yang diakui kedhabitan dan penukilannya
٥ - وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ ... رِجَالُهُ لاَ
كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits hasan jalan
periwayatannya terkenal tetapi para perawinya tidak seperti hadits shahih
٦
- وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ ... فَهْوَ الضَّعِيفُ وَهْوَ
أَقْسَاماً كَثُرْ
Setiap hadits yang lebih rendah
derajatnya dari hadits hasan disebut hadits dha’if dan ia
banyak macamnya
٧
- وَمَا أُضِيفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُوعُ ... وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ الْمَقْطُوعُ
Apa yang disandarkan ke Nabi
adalah hadits marfu’ dan apa yang disandarkan ke tabi’in
adalah hadits maqthu’
٨
- وَالْمُسْنَدُ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ ... رَاوِيهِ حَتَّى المُصْطَفَى
وَلَمْ يَبِنْ
Hadits musnad adalah
yang sanadnya bersambung dari para perawi hingga Al-Musthafa tanpa terputus
٩
- وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ ... إسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى
فَالْمُتَّصِلْ
Hadits yang didengar semua perawi
dan bersambung sanadnya hingga Al-Musthafa adalah hadits muttashil
١٠
- مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ أَمَا وَاللهِ أَنْبَانِي
الْفَتَى
Katakanlah, hadits
musalsal adalah yang mengandung sifat tertentu seperti: Demi Allâh
seorang pemuda mengabarkan kepadaku
١١
- كَذَاكَ قَدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمَا ... أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Begitu pula: sungguh dia
mengabarkan kepadaku sambil berdiri, atau setelah mengabarkan kepadaku ia
tersenyum
١٢
- عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ مَرْوِي فَوْقَ مَا
ثَلَاثَهْ
Hadits ‘aziz adalah
yang perawinya dua atau tiga, dan hadits masyhur perawinya
lebih dari tiga
١٣
- مُعَنْعَنٌ كَعَن سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Hadits mu’an’an contohnya:
dari Sa’id dari Karam, dan hadits mubham adalah jika ada
perawi yang tidak disebutkan namanya
١٤
- وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِي قَدْ نَزَلاَ
Setiap hadits yang perawinya
sedikit disebut hadits ‘ali, dan kebalikannya adalah hadits
nazil
١٥
- ومَا أَضَفْتَهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ ... قَوْلٍ وَفِعْلٍ فَهْوَ مَوْقُوفٌ
زُكِنْ
Apa yang disandarkan kepada para
Shahabat baik ucapan maupun perbuatan adalahhadits mauquf, mengertilah
١٦
- وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ ... وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ
فَقَطْ
Hadits mursal adalah
bila perawi Shahabat gugur, dan katakanlah hadits gharib itu
bila perawinya hanya satu
١٧
- وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ ... إسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الأَوْصَالِ
Setiap hadits yang keadaan
sanadnya tidak bersambung disebut hadits munqathi
١٨
- والْمُعْضَلُ السَّاقِطُ مِنهُ اثْنَانِ ... وَمَا أَتَى مُدَلَّساً نَوعَانِ
Hadits mu’dhal adalah
bila perawi yang gugur dua, dan hadits mudallas ada dua macam
١٩
- اَلْأَوَّلُ: الْاِسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ ... يَنْقُلَ عَمَّنْ فَوْقَهُ
بِعَنْ وَأَنْ
Pertama: gurunya gugur dengan
penukilan di atasnya memakai (عَنْ) dan (أَنْ)
٢٠
- وَالثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ ... أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ
يَنْعَرِفْ
Kedua: gurunya tidak gugur tetapi
menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal
٢١
- وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ بِهِ الْمَلَا ... فَالشَّاذُّ وَالَمقْلُوبُ قِسْمَانِ
تَلَا
Hadits tsiqah yang menyelisihi
jamaah disebut hadits syadz, dan hadits maqlub ada
dua macam, bacalah
٢٢
- إبْدَالُ رَاوٍ مَا بِرَاوٍ قِسْمُ ... وَقَلْبُ إسْنَادٍ لِمَتْنٍ قِسْمُ
Pertama: mengganti perawi dengan
perawi lain dan kedua: membalik sanad-matan
٢٣
- وَالفَرْدُ مَا قَيَّدْتَهُ بِثِقَةِ ... أَوْ جَمْعٍ أوْ قَصْرٍ عَلَى
رِوَايَةِ
Hadits fard adalah
yang periwayatannya diikat dengan satu perawi tsiqah, banyak, atau terbatas
٢٤
- وَمَا بِعِلَّةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَا ... مُعَلَّلٌ عِنْدَهُمُ قَدْ عُرِفَا
Hadits yang cacatnya tersembunyi
atau tersamar disebut hadits mu’allal menurut pengertian ahli
hadits
٢٥
- وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ ... مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ
Hadits yang sanad atau matannya
berbeda disebut hadits mudhtharib menurut ahli hadits
٢٦
- وَالْمُدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيثِ مَا أَتَتْ ... مِنْ بَعْضِ أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ
اتَّصَلَتْ
Hadits mudraj adalah
hadits yang tercampuri sebagian lafazh perawi
٢٧
- وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِهْ ... مُدَّبَّجٌ فَاعْرِفْهُ حَقًّا
وَانْتَخِهْ
Setiap hadits yang diriwayatkan
oleh perawi segenerasi dari saudaranya adalah hadits mudabbaj, maka
ketahuilah ini dengan baik
٢٨
- مُتَّفِقٌ لَفْظاً وَخَطّاً مُتَّفِقْ ... وَضِدُّهُ فِيمَا ذَكَرْنَا
المُفْتَرِقْ
Hadits yang lafazh (pengucapan)
dan khat (tulisan) perawi sama disebut hadits muttafiq, dan
kebalikan apa yang kami sebutkan adalah hadits muftariq
٢٩
- مُؤْتَلِفٌ مُتَّقِقُ الخَطِّ فَقَطْ ... وَضِدُّهُ مُخْتَلِفٌ فَاخْشَ
الْغَلَطْ
Hadits mu`talif adalah
jika hanya khat nama perawi yang sama, dan kebalikannya adalah hadits
mukhtalif, maka hati-hatilah jangan salah
٣٠
- وَالْمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا ... تَعْدِيلُهُ لاَ يْحمِلُ
التَّفَرُّدَا
Hadits munkar adalah
yang perawinya menyendiri dan keadilannya tidak diakui saat menyendiri
٣١
- مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ ... وَأَجْمَعُوا لِضَعْفِهِ فَهْوَ كَرَدْ
Hadits matruk adalah
yang perawinya satu menyendiri dan mereka sepakat atas kelemahannya, sehingga
ia tertolak
٣٢
- وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ ... عَلَى النَّبِي فَذلِكَ المَوْضُوعُ
Hadits dusta yang direka-reka dan
dibuAt-buat atas nama Nabi itulah hadits maudhu’
٣٣
- وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ المَكْنُونِ ... سَمَّيْتُهَا مَنْظُومَةَ
البَيْقُونِي
Sungguh nazham ini seperti
mutiara yang tersimpan dan aku menamainya Manzhumah Al-Baiquniyyah
٣٤
- فَوْقَ الثَّلاَثِيْنَ بِأَرْبَعٍ أَتَتْ ... أَقْسَامُهَا تَمَّتْ بِخَيْرٍ
خُتِمَتْ
Berisi 34 bagian yang sempurnya
dan ditutup dengan kebaikan
***
A
|
l-Baiquni bernama lengkap Thaha
(ada yang menyebutkan ‘Umar) bin Muhammad bin Futuh Al-Baiquni, seorang muhaddits ternama
dan ahli ilmu ushul. Beliau hidup sebelum tahun 1080 H/1669 M. Beliau memiliki
kitab Fathul Qâdir Al-Mughîts dalam bidang hadits.
Y
|
ang pertama kali menyusun
kitab musthalah hadits (istilah-istilah hadits) adalah Abu
Muhammad Ar-Ramahurmuzi berjudul Al-Muhaddits Al-Fâshil bainar Râwî wal
Wâ’î, tetapi karena masih permulaan kitab ini belum mencakup semua
istilah hadits.
Kemudian kitab ini dikaji oleh
Al-Hakim Abu ‘Abdillah An-Naisaburi pemilik Al-Mustadrâk ‘alash
Shahîhainkitab induk hadits terkenal. Dari pengkajian itu, lahirlah
kitab Ma’rifah Ulûmil Hadîts meski tanpa pengeditan dan
penataan sehingga mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan sebaliknya,
sehingga bab hadits shahih diletakkan pada bab ke-9.
Kemudian dikaji ulang oleh
Al-Khathib Al-Baghdadi sehingga lahirlah Al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah,
Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwî wa Adâbis Sâmi’, dan lainnya. Hampir semua
disiplin ilmu hadits, Al-Khathib memiliki karya yang membahasnya secara detail.
Beliau melengkapi dengan berbagai istilah hadits yang disebutkan para ahli
hadits. Setelah itu kajian musthalah menjadi masyhur dan
menyebar serta mendapat perhatian. Mereka berhutang budi kepada
Al-Khatib. Abu Bakar Ibnu Nuqthah berkata:
كُلُّ
مَنْ أَنْصَفَ عَلِمَ أَنَّ الْمُحَدِّثِينَ بَعدَ الْخَطِيبِ عِيَالٌ عَلَى
كُتُبِهِ
“Setiap orang yang objektif akan tahu
bahwa ahli hadits sepeninggal Al-Khathib semuanya merujuk kepada
kitab-kitabnya.” (Muqaddimah Ibnu Shalâh hal. 12)
Di antara yang memberi perhatian
kitab-kitab beliau adalah Al-Qadhi ‘Iyyadh dan Abu ‘Amr Ibnu Shalah
Asy-Syahruzi lalu lahirlah kitab terkenal yang dijadikan pegagan ahli hadits,
yaitu Muqaddimah fî ‘Ulûmil Hadîts (Muqaddimah Ibnu Shalah).
Dari zaman ke zaman muncul para
pakar hadits dalam jahr wa ta’dil (ilmu tentang kritik
perawi), dirayah, riwayah, maupun kajian fiqih. Di antara pakar jahr wa
ta’dil adalah Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Al-Hafizh
Al-Mizzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Hafizh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu
Katsir, Imam Ibnul Qayyim, Al-Hafizh Al-‘Iraqi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Hafizh
As-Suyuthi, dan lainnya yang banyak sekali. Al-Hafizh As-Suyuthi berkata:
إِنَّ الْمُحَدِّثِينَ
عِيَالٌ فِي الرِّجَالِ وَغَيرِهَا مِن فُنُونِ الْحَدِيثِ عَلَى أَربَعَةٍ:
المِزِّي، وَالذَّهَبِي، وَالْعِرَاقِي، وَابْنِ حَجَرٍ
“Semua ahli
hadits merujuk tentang perawi atau ilmu lainnya dalam hadits kepada empat
orang, yaitu Al-Mizzi, Adz-Dzahabi, Al-‘Iraqi, dan Ibnu Hajar.” (Syarhul
Mûqizhah I/4 oleh Abul Mundzir Al-Munawi)
Karya-karya dalam ilmu hadits ini
ada yang berupa mantsur (narasi/paragraf) maupun mandhum (bentuk
bait syair), yang ringkas maupun panjang lebar. Di antara mandhum terbaik
(karena ringkas dan lengkap) adalah matan musthalah hadits Mandzumah
Al-Baiquniyyah ini. Beliau menyebutkan 32 istilah hadits dalam 34
bait. Sungguh ringkas dan padat sekali!
S
|
anad adalah
rantai perawi yang bersambung hingga nash hadits (matan atau
pengucapnya). Nama lainsanad adalah isnad. Tidak ada
satu pun umat terdahulu yang memiliki isnad selain Islam. Ini
anugrah terbesar umat Islam. Andai tanpa sanad, semua orang bebas
berbicara tanpa bisa diketahui keabsahan nukilan itu apa benar dari
pengucapnya. Untuk itu Ibnul Mubarak (w. 181 H) berkata:
الْإِسْنَادُ
مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad bagian agama.
Andai tanpa isnad tentu setiap orang berbicara sesuai
kehendaknya.” (Muqaddimah Shahîh Muslim I/15)
Muhammad bin Sirin (w. 110 H)
berkata:
إِنَّ
هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Ilmu ini (hadits) adalah agama,
maka perhatikanlah kepada siapa kalian mengambil agama kalian.” (Muqaddimah
Shahîh Muslim I/14)
Pada zaman Shahabat belum muncul
fitnah kecuali di akhir mereka, sehingga apabila ada orang yang menyampaikan
kabar diminta menyebutkan isnadnya. Muhammad bin Sirin berkata:
لَمْ
يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ،
قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ
حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dulu orang-orang tidak
meminta isnad, tetapi setelah terjadi fitnah, mereka berkata,
‘Sebutkan nama-nama perawi kalian kepada kami.’ Jika dari Ahli Sunnah maka
haditsnya diambil dan jika dari ahli bid’ah haditsnya tidak diambil.” (Muqaddimah
Shahîh Muslim I/15)
Akhirnya dengan isnad ini,
seorang Muslim bisa beragama dengan yakin dan benar saat mengambil isnadyang
shahih dari Ahli Sunnah.
***
SYARAH RINGKAS MANZHUMAH
AL-BAIQUNIYYAH
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
N
|
azhim (pembuat
manzhumah/Al-Baiquni) mengawali dengan basmalah untuk meneladai Al-Qur`an
dimana semua suratnya selain Taubah/Bara`ah dimulai dengan basmalah. Kedua,
meneladani Nabi Muhammad dan Nabi Sulaiman Shallallahu ‘Alaihim wa
Sallam dimana mereka memulai suratnya dengan basmalah. Yaitu surat
beliau kepada raja Heraklius:
«بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى
هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm. Dari
Muhammad hamba Allâh dan Rasul-Nya kepada Heraklius Pembesar Romawi.
Keselamatan atas yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du.” (HR.
Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 1773 dari Abu Sufyan bin Harb Radhiyallahu
‘Anhu)
Adapun surat Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam kepada
Bilqis Ratu Saba terdapat dalam ucapan Bilqis:
«إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ * أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ»
“Surat ini dari Sulaiman dan
berisi Bismillahirrahmânirrhîm. Kalian jangan sombong dan datanglah kepadaku
dalam keadaan menyerah.” (QS. An-Naml [27]: 30-31)
Ketiga, meneladani Salafush
Shalih. Riwayat surat-menyurat mereka dengan basmalah adalah shahih. Di antara
contohnya Ibnu ‘Umar dalam suratnya:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ لِعَبْدِ الْمَلِكِ
أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ سَلَامٌ عَلَيْكَ»
“Bismillahirrahmânirrhîm. Untuk
‘Abdul Malik Amirul Mukminin dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Semoga keselamatan
atasmu.” (HR. Al-Bukhari no. 1119 dalam Al-Adab Al-Mufrâd dalam
bab Bagaimana Menulis di Awal Surat. Dinilai shahih Al-Albani)
‘Umar mengawali
tulisannya dengan basmalah:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ: مِنْ عِنْدِ عُمَرَ
أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، أَمَّا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm. Dari
‘Umar Amirul Mukminin kepada ‘Ammar bin Yasir. Amma ba’du.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah no. 24010 dalam Mushannafnya)
Khalid Ibnul Walid dalam
suratnya:
«بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ خَالِدِ بْنِ
الْوَلِيدِ إِلَى مَرَازِبَةِ فَارِسَ سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى،
أَمَا بَعْدُ»
“Bismillahirrahmânirrhîm. Dari Khalid
Ibnul Walid kepada Raja Persia. Keselamatan atas yang mengikuti petunjuk. Amma
ba’du.” (HR. Sa’id bin Manshur no. 2482 dalam Sunannya)
***
١ - أَبْدَأُ بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً عَلَى ... مُحَمَّدٍ خَيْرِ
نَبِيٍّ أُرْسِلَا
Aku memulai dengan memuji Allâh dan bershalawat kepada Muhammad Nabi
terbaik yang diutus
Nazhim mengawali bait syairnya
dengan hamdalah untuk meneladani Al-Qur`an di mana di sebagian awal ayat
dimulai dengan hamdalah seperti surat Al-Fatihah, Al-An’am, Al-Kahfi, Saba, dan
Fathir.
Setelah itu, bershalawat kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar tulisan ini
berkah dan terhidar dari keburukan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ،
وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ، إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً، فَإِنْ
شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ»
“Tidaklah sekelompok kaum
bermajlis tanpa menyebut Allâh dan tanpa bershalawat kepada Nabi mereka,
melainkan mereka mendapatkan kerugian. Jika mau Allâh menyiksa mereka dan jika
mau Dia mengampuni mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 3380
dan dinilai shahih Al-Albani)
Makna (الْحَمْدُ) adalah:
ثَنَاءٌ
عَلَيْهِ بِأَسمَائِهِ الْحُسْنَى وَصِفَاتِهِ الْعُلْيَ، وَالشُّكْرُ لِلَّهِ
ثَنَاءٌ عَلَيْهِ بِنِعَمِهِ وَأَيَادِيهِ
“Memuji-Nya
karena nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berbeda dengan
syukur yang maknanya memuji-Nya karena nikmat-Nya dan karunia-Nya.” (Tafsîr Ibni
Katsîr I/128)
Sedangkan makna shalawat
diterangkan oleh Abul ‘Aliyah:
صَلَاةُ
اللَّهِ: ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَلَائِكَةِ، وَصَلَاةُ الْمَلَائِكَةِ:
الدُّعَاءُ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يُصَلُّونَ: يُبَرِّكُوْنَ
“Shalawat dari Allâh adalah
memuji beliau di tengah malaikat dan shalawat malaikat adalah mendoakannya. Ibnu
‘Abbas mengartikan (يُصَلُّونَ) dengan (manusia) mendoakan
berkah.” (HR. Al-Bukhari (VI/120). Sufyan Ats-Tsauri berpendapat, dari Allâh
rahmat dan dari malaikat istighfar)
Ucapan Nazhim ‘Muhammad Nabi terbaik yang diutus’ disebabkan
yang terbaik dari para Nabi dan Rasul adalah Nabi Ulul ‘Azmi yang berjumlah
lima: Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad ‘Alaihimussalam. Dari lima
itu yang diangkat khalil (kekasih tertinggi) hanya Ibrahim dan Muhammad Shallallahu
‘Alaihima wa Sallam. Di antara keduanya Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang terbaik karena diutus ke seluruh manusia.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
«وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا
وَنَذِيرًا»
“Tidaklah Aku utus kamu melainkan
untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (QS. Saba
[34]: 28)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
«وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ
إِلَى النَّاسِ عَامَّةً»
“Nabi-Nabi diutus untuk kaumnya
saja sementara aku diutus untuk semua manusia.” (HR.
Al-Bukhari no. 335 dan Muslim no. 521)
***
٢ - وَذِي مِنَ اقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ ... وَكُلُّ وَاحِدٍ
أَتَى وَحَدَّهْ
Inilah pembagian hadits yang banyak dan setiap bagian datang dengan ciri
khasnya(batasannya)
Jumlah macam hadits yang Nazhim
cantumkan ada 32 hadits dalam 34 bait. Namun intinya hadits itu ada tiga:
shahih, hasan, dan dha’if. Akan tetapi kadang dalam sanad maupun matan suatu
hadits terdapat sifat tertentu yang membedakannya dengan yang lainnya sehingga
perlu dibagi-bagi untuk memudahkan penyebutannya, sehingga muncullah banyak
istilah hadits. Sifat khusus yang membedakannya dengan lainnya inilah yang
disebut dengan (الحدُّ).
Jumlah keseluruhan 32 macam ini
adalah hadits shahih, hasan, dha’if, marfu’, maqthu’, musnad,muttashil, musalsal, ‘aziz, masyhur, mu’an’an, mubham, ‘ali, nazil, mauquf, mursal, gharib, munqathi’,mu’dhal, mudallas, syadz, maqlub, fard, mu’allal, mudhtharib, mudraj, mudabbaj, muttafiq-muftariq,mu`talif-mukhtalif, munkar, matruk,
dan maudhu’.
Sebelum melangkah lebih jauh,
baiknya kita mengenal beberapa istilah yang sering dipakai:
1. Hadits (الحَدِيثُ)
Hadits secara
bahasa artinya (الجَدِيدُ) baru, karena dia datang belakangan dari pengucapnya. Secara
istilah hadits adalah:
مَا
وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِن قَولٍ أَوْ فِعْلٍ
أَوْ تَقْرِيرٍ أَوْ صِفَةٍ
“Apa saja yang datang dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik ucapan, perbuatan,
penetapan, atau sifat.” (Fathul Mughîts (I/21) oleh As-Sakhawi)
Contoh hadits ucapan: “Shalat
adalah cahaya.” Contoh hadits perbuatan: Shababat mengabarkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Zhuhur 4 rakaat.
Contoh hadits penetapan: dikabarkan kepada/dilihat oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa Sahabatnya shalat begini-begitu lalu beliau
mendiamkannya yang menunjukkan penetapan (boleh). Sifat sendiri dibagi dua,
yaitu khalqi (sifat fisik) dan huluqi (sifat
perangai). Contoh sifat khalqi: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berjenggot lebat. Contoh sifat khuluqi: Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sangat dermawan. Semua ini adalah makna hadits
secara mutlak. Namun, terkadang hadits juga dipakai untuk selain Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallamdalam kondisi tertentu, contohnya hadits
maqthu’ yang ucapannya disandarkan kepada Tabi’in.
Apa perbedaan hadits dengan khabar (الْخَبَرُ)?
Khabar memiliki
tiga arti:
a. Muradif (sinonim
makna hadits)
b. Mughayir lah (kebalikan
makna hadits), maksudnya hadits khusus Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallamsementara khabar untuk selain Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
c. A’am minh (lebih
umum), maksudnya khabar lebih umum dari hadits dan
mencakupnya.
Apa perbedaannya dengan atsar (الأَثَرُ)?
Secara bahasa artinya jejak/sisa
sesuatu. Perbedaannya dengan hadits sama dengan pembahasan khabar.
Hanya saja umumnya hadits dipakai untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan atsar dipakai untuk Shahabat, Tabi’in, dan
Tabi’ut Tabi’in.
2. Sanad/Isnad (السَّنَدُ أَوِ
الْإِسْنَادُ)
Secara
bahasa isnad artinya sandaran dan sambungan. Secara
istilah isnad adalah:
سِلْسِلَةُ
الرُّوَاةِ المُوصِلَةِ إِلَى الْمَتْنِ
“Silsilah para perawi yang
bersambung sampai ke matan (nash hadits).” (Nuzhatun Nazhar hal.
83 oleh Ibnu Hajar)
Dari sini muncul istilah musnid (orang
yang meriwayatkan secara sanad) dan musnad (hadits marfu’muttashil atau
kitab yang menghimpun hadits-hadits muttashil dari Shahabat
seperti kitab Musnad Ahmad).
3. Matan (المَتْنُ)
Secara
bahasa matan artinya punggung. Mungkin nash hadits
disebut matan karena fungsinya sebagai tempat sandaran isnad.
Secara istilah matan adalah nash hadits itu sendiri.
4. Perawi (الرَّاوِي)
Bentuk jamaknya
adalah (الرُواةُ) artinya orang yang meriwayatkan hadits dari awal hingga ke
pengucapnya. Kumpulan perawi inilah yang membentuk isnad.
Di antara perawi ada yang
disebut muhaddits artinya orang yang menyibukkan dirinya dalam
hadits sekaligus mendalami ilmu dirayah, riwayah, dan ahwal hadits. Adapula
Al-Hafizh, yang maknanya sama dengan muhaddits atau lebih
tinggi dari muhaddits karena yang diketahui jauh lebih banyak
daripada yang tidak diketahui.
Contoh mudahnya adalah hadits
yang tercantum di kitab Shahih Al-Bukhari (no.
109):
قَالَ البُخَارِي: حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ،
قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ
يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
Al-Bukhari berkata: Makki
bin Ibrahim menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazid bin
Abi ‘Ubaidmenceritakan kepada kami, dari Salamah, dia berkata:
aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: «Siapa yang mengucapkan atasku apa yang
tidak aku katakan, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka»
Maka, yang digaris bawah
adalah isnad, yang miring adalah perawi, dan yang dalam kurung
adalah matan.
***
٣ – أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ ... إسْنَادُهُ
وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang pertama hadits shahih yaitu yang sanadnya bersambung
tanpa adanya syadz dan illat
٤ - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ ...
مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ
Yang diriwayatkan dari perawi adil dan dhabit dari yang semisalnya yang diakui
kedhabitan dan penukilannya
Meskipun banyaknya istilah
hadits, pada dasarnya hanya ada tiga: shahih, hasan,
dan dha’if, sebagaimana yang disampaikan Al-Khaththabi.
S
|
hahih secara
bahasa artinya sehat lawan sakit, atau terbebas dari aib dan keraguan. Secara
istilah, didefinisikan Nazhim sebagai hadits yang terpenuhi 5 syarat:
1.
1. Sanadnya
bersambung (اِتِّصَالُ
السَّنَدِ)
Ini berdasarkan ucapan Nazhim: (ما اتصل إسناده). Maksudnya, dari satu perawi ke perawi berikutnya benar-benar
mendengar yang ada di atasnya bersambung hingga kepada pengucapnya.
2. Para perawinya
adil (عَدَالَةُ الرُّوَاةِ)
Ini diambil dari ucapan Nazhim: (يَرْوِيهِ عَدْلٌ). Maksud (عَدَالَةُ) adalah sebuah sifat yang mendorongnya senantiasa bertaqwa
sehingga bersegera dalam ketaatan, menjauhi dosa besar, dan tidak terus-menerus
melakukan dosa kecil. Taqwa dan rasa takutnya kepada Allâh ini menjadikannya
tidak khianat dalam periwayatan baik berdusta, menambah, mengurangi, atau
lainnya. Imam Asy-Syafi’i mendefinisikannya:
العَدْلَ: العَامِلُ
بِطَاعَتِهِ، فَمَنْ رَأَوْهُ عَامِلاً بِهَا كَانَ عَدْلاً، وَمَنْ عَمِلَ
بِخِلَافِهَا كَانَ خِلاَفَ الْعَدْلِ
“Adil adalah orang yang
mengerjakan ketaatan-Nya. Siapa melihat orang itu melakukannya berarti orang
itu adil, tetapi siapa yang melakukan kebalikannya berarti dia menyelisihi
adil.” (Ar-Risâlah I/34 oleh Asy-Syafi’i)
Ucapan ‘Siapa melihat orang itu
melakukan ketaatan berarti orang itu adil’ menunjukkan bahwa yang dijadikan
ukuran muhadditsin dalam menilai perawi adalah zhahirnya,
meskipun apa yang ditampakkan terkadang berbeda dengan apa yang disembunyikan.
Seolah-olah Asy-Syafi’i berpendapat, “Kami menilai keshalihan perawi
berdasarkan apa yang nampak bagi kami dan kabar yang sampai kepada kami, adapun
hati itu bukan urusan kami dan kami serahkan sepenuhnya kepada Allâh.”
Muhadditsin berkata, “Kami menghukumi berdasarkan zhahirnya.”
3. Para
perawinya dhabt sempurna (ضَبْطُ الرًّوَاةِ تَمَام الضَّبْطِ)
Secara bahasa dhabt artinya
kuat, terjaga, teliti, dan cermat. Yang dimaksud di sini adalah kuat dan
terjaganya periwayatan perawi baik dalam hafalan maupun kitab. Untuk itu, dhabt dibagi
dua:
a. Kuat hafalan (ضَبْطُ صَدْرٍ), yaitu seorang perawi memiliki hafalan yang kuat dan akurat
sehingga dia bisa menghadirkannya kapan pun dia mau meski tanpa membawa kitab.
b. Terjaganya
kitab (ضَبْطُ
كِتَابٍ), yaitu seorang perawi meriwayatkan haditsnya lewat kitabnya
yang terjaga di mana kitabnya telah dikoreksi gurunya atau sama persis dengan
periwayatan gurunya dan terhindar dari penambahan atau pengurangan yang bukan
dari aslinya.
Dengan sifat dhabt ini,
perawi akan terhindar dari kesalahan periwayatan tanpa kesengajaan karena kuat
dan akurat hafalannya yang sempurna. Ini yang membedakan dengan hadits hasan dimana
kedhabitan perawi hasan di bawah perawi shahih,
misalnya agak kuat dan kadang salah.
4. Terbebas
dari syadz (عَدَمُ الشُّذُوذِ)
Secara bahasa syadz artinya
menyelisihi. Maksudnya di sini, perawi tsiqah menyelisihi
perawi yang lebihtsiqah darinya baik karena hafalan maupun jumlah.
Contohnya menyusul pada pembahasan hadits syadz.
5. Terbebas
dari ‘illat (عَدَمُ الْعِلَّةِ)
Secara bahasa ‘illat artinya
penyakit atau cacat, tepatnya penyakit atau cacat tersembunyi. Maksudnya di
sini, hadits yang memiliki cacat tersembunyi atau samar sehingga yang nampak
adalah shahih. Cacat tersembunyi ini hanya diketahui oleh pakar
hadits yang mendalam seperti Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Ali Ibnul
Madini, Yahya bin Ma’in, Al-Bukhari, Muslim, dan yang semisalnya. Contohnya
menyusul pada pembahasan hadits mu’allal.
Jika salah satu syarat ini tidak
ada, maka hadits tersebut tidak dihukumi shahih. Jika berhubungan
dengan kelemahan dhabt yang ringan, turun ke hasan.
Jika tidak, maka dipastikan dha’if (lemah) atau mardud(tertolak).
Contoh hadits shahih adalah
semua hadits yang tercantum di kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim di
mana kedua imam hadits ini mensyaratkan kriteria shahih dalam
kitab mereka ini.
Shahih terbagi
dua: shahîh lidzhâtih yang sedang kita bahas dan shahîh
li ghairih, yaitu hadits hasan yang terangkat ke shahih karena
adanya syahid atau mutaba’ah (hadits dari
jalur lain sehingga menguatkan hadits hasan tersebut
menjadi shahih).
***
٥
- وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ ... رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيحِ
اشْتَهَرَتْ
Hadits hasan jalan
periwayatannya terkenal tetapi para perawinya tidak seperti haditsshahih
Secara bahasa hasan artinya
baik dan maqbul (diterima). Oleh karena itu hadits hasan diterima
dan dijadikan hujjah sebagaimana hadits shahih.
Secara istilah, hadits hasan adalah
hadits yang sanadnya bersambung dinukil dari perawi adil tetapi khafif
dhabt (dhabtnya kurang sempurna) dari perawi semisalnya tanpa
adanya syadz dan ‘illat. Lima syarat ini mirip
dengan syarat shahih, bedanya di tingkatan dhabtnya.
Perincian lima syarat ini:
1. Sanadnya
bersambung (اِتِّصَالُ
السَّنَدِ). Ini diambil dari ucapan Nazhim: (الْمَعْرُوفُ طُرْقا). Jalan periwayatannya terkenal menunjukkan sanadnya
bersambung, karena jika terputus bearti tidak dikenal.
2. Para perawinya
adil (عَدَالَةُ الرُّوَاةِ)
Apakah ‘adâlah ini
sama dengan ‘adâlah perawi shahih? Jawabanya ya.
Apakah ‘adâlah perawi dituntutma’shum (terbebas
dari kesalahan)? Jawabannya tidak, karena tidak ada manusia yang ma’shum selain
para Nabi dan Rasul. Mereka dituntut untuk bertaqwa semampu mereka dan
senantiasa menjalankan ketaatan dan menjauhi dosa besar. Dalilnya:
«كُلُّ
ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»
“Setiap anak Adam banyak
melakukan kesalahan dan sebaik-baik mereka adalah yang bertaubat.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, dan Ahmad no. 13049. Dinilai hasan Al-Albani)
Kalaupun maksiat, sebatas dosa
kecil dan itu pun tidak terus-menerus. Allâh tidak mengingkari bahwa penghuni
Surga-Nya pernah melakukan kesalahan hanya saja mereka murung dan menyesal
sehingga menghentikannya dan bertaubat. Yaitu firman Allâh:
«وَالَّذِينَ
إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ
يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ
مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ»
“Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allâh? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah
ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang
beramal.” (QS. Ali Imrân [3]: 135-136)
Inilah standarisasi ‘adâlah yang
dituntut. Semakin shalih dan bertaqwa, maka semakin tinggi ketsiqahannya.
Dulu orang-orang sebelum mengambil hadits melihat dulu shalat perawi tersebut.
Jika baik shalatnya maka diambil riwayatnya, tetapi jika tidak maka tidak.
3. Para perawinya dhabt ringan
(ضَبْطُ الرًّوَاةِ
خَفِيف الضَّبْطِ)
Inilah yang membedakan dengan
kriteria shahih. Untuk itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar mendefinisikan shahihdengan
(بِنَقْلِ الْعَدْلِ
تَام الضَّبْطِ) dan hasan dengan (بِنَقْلِ الْعَدْلِ
خَفْيْف الضَّبْطِ). (Nuzhatun Nazhar hal. 82-91) Inilah yang
menyebabkan hadits yang awalnya shahih bisa turun ke hasan.
Dua syarat ini diisyarakan Nazhim
dalam ucapannya: (وَغَدَتْ رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ).
4 & 5. Terbebas dari syadz dan ‘illat.
Nazhim tidak menyebutkan dua
syarat ini barangkali beranggapan dua ini secara otomatis harus ada dalam
hadits maqbul (diterima) sehingga tidak perlu disinggung
karena sama persis dengan pembahasan syaratshahih. Jika tidak terpenuhi
salah satu syarat ini maka haditsnya mardud (ditolak).
Shighah ta’dil (ungkapan ‘adâlah)
untuk perawi hasan biasanya memakai ungkapan (صَدُوقٌ) jujur, (لَا بَأسَ بِهِ) tidak masalah, (صَالِحُ الْحَدِيثِ) haditsnya shalih,
dan semisalnya.
Contoh hadits hasan dalam Musnad Abu
Ya’la (no. 6147):
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ضِمَامٌ، عَنْ مُوسَى بْنِ وَرْدَانَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«أَكْثِرُوا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا»
Semua perawi adalah shahih selain
Dhimam bin Ismail, dia hasan. Adz-Dzahabi berkata, “Haditsnya
shalihmeski sebagian orang mendha’ifkannya tanpa hujjah.” Imam Ahmad
berkata, “Haditsnya shalih.” Ibnu Hajar berkata, “Jujur meski terkadang
keliru.”
Hadits hasan juga
ada dua: hasan lidzhâtih yang sedang dibahas dan hasan
lighairih, yaitu hadits dha’ifyang diangkat hasan karena
adanya syahid (hadits penguat) selagi tidak parah kedha’ifannya.
***
٦
- وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ ... فَهْوَ الضَّعِيفُ وَهْوَ
أَقْسَاماً كَثُرْ
Setiap hadits yang lebih rendah
derajatnya dari hadits hasan disebut hadits dha’if dan ia
banyak macamnya
Secara bahasa dha’if artinya
lemah atau gagal. Yang dimaksud di sini adalah setiap hadits yang derajatnya di
bawah hadits hasan atau yang tidak memenuhi kriteria hasan.
Ini diisyaratkan Nazhim dalam ucapannya: (وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ).
Jumlah hadits dha’if banyak
sekali seperti yang dinyatakan Nazhim sendiri. Hal ini disebabkan pemicunya
banyak sekali dan bermacam-macam. Untuk itu, sisa pembagian hadits berikutnya
banyak menyinggung hadits dha’if, misalnya hadits munqathi’, mu’dhal, mudallas, syadz, maqlub, mu’allal, mudhtharib,munkar, matruk,
dan maudhu’. Akan datang penjelasannya in syaa Allâh.
***
٧
- وَمَا أُضِيفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُوعُ ... وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ الْمَقْطُوعُ
Apa yang disandarkan ke Nabi
adalah hadits marfu’ dan apa yang disandarkan ke tabi’in
adalah hadits maqthu’
S
|
ecara bahasa marfu’ artinya
terangkat. Maksud di sini adalah setiap hadits yang dinisbatkan kepada NabiShallallahu
‘Alaihi wa Sallam baik sanadnya bersambung atau tidak, shahih atau dha’if.
Jika yang dinisbatkan ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
ucapannya disebut marfu’ qauli, jika
perbuatannya marfu’ ‘amali, jika
penetapannya marfu’ taqriri, jika sifatnya marfu’ shifati
khalqi ataushifati khuluqi.
Maqthu’ artinya terputus, maksudnya khabar yang
dinisbatkan kepada Tabi’in baik bersanad atau tidak,shahih atau dha’if.
***
٨
- وَالْمُسْنَدُ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ ... رَاوِيهِ حَتَّى المُصْطَفَى
وَلَمْ يَبِنْ
Hadits musnad adalah
yang sanadnya bersambung dari para perawi hingga Al-Musthafa tanpa terputus
Musnad (الْمُسْنَدُ) adalah isim maf’ul (objek) dari asnada yang
seakar dengan isnad, sehingga maksudnya adalah hadits yang sanad para
perawinya bersambung hingga kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah disinggung dimuka bahwa ada pula yang mengartikan musnad dengan
hadits marfu’ muttashil atau kitab yang menghimpun
hadits-hadits muttashil dari Shahabat seperti kitab Musnad Ahmad.
Namun, yang dimaksud Nazhim di sini adalah yang pertama.
***
٩
- وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ ... إسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى
فَالْمُتَّصِلْ
Hadits yang didengar semua perawi
dan bersambung sanadnya hingga Al-Musthafa adalah hadits muttashil
Secara bahasa muttashil artinya
yang bersambung. Maka hadits muttashil adalah hadits yang
sanadnya bersambung kepada Al-Musthafa Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
menurut definisi Nazhim. Namun, definisi ini berakibat tidak adanya perbedaan
dengan hadits musnad. Yang benar, bersambung kepada orang terakhir,
sehingga mencakup Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maupun
selain beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam manuskrip lain
dengan redaksi (للمُنْتَهَى) sebagai ganti (لِلْمُصْطَفَى). Ini yang benar.
Kesimpulannya, perbedaan antara
hadits marfu’, musnad, dan muttashil adalah khabar apapun
yang bersambung disebut muttashil. Bila bersambungnya itu sampai ke
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdisebut musnad.
Adapun marfu’ apa yang disandarkan ke Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam baik sanadnya bersambung maupun terputus.
***
١٠
- مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ أَمَا وَاللهِ أَنْبَانِي
الْفَتَى
Katakanlah, hadits
musalsal adalah yang mengandung sifat tertentu seperti: Demi Allâh
seorang pemuda mengabarkan kepadaku
١١ - كَذَاكَ قَدْ
حَدَّثَنِيهِ قَائِمَا ... أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Begitu pula: sungguh dia
mengabarkan kepadaku sambil berdiri, atau setelah mengabarkan kepadaku ia
tersenyum
Secara bahasa (مُسَلْسَلٌ) artinya (التَتَابُعُ) mengiringi, yaitu bersambungnya sesuatu satu dengan lainnya.
Secara istilah hadits musalsal adalah
hadits yang diiringi dengan sebuah ungkapan dari perawi pertama hingga terakhir
dengan sifat (ucapan/perbuatan) atau hâl (keadaan tertentu).
Contoh musalsal yang dibawakan Nazhim di atas adalah musalsal ucapan
(وَاللهِ أَنْبَانِي
الْفَتَى), musalsal perbuatan (بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي
تَبَسَّمَا), dan musalsal hal (قَدْ حَدَّثَنِيهِ
قَائِمَا). Ini termasuk keunikan hadits.
Musalsal harus ada
di setiap tingkatan perawi. Ada yang berpendapat bahwa musalsal tidak
harus ada pada semua perawi, yang penting mayoritas.
Contoh lainnya adalah hadits
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu dimana Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:
«يَا
مُعَاذُ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ
صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ»
“Wahai Muadz, aku benar-benar
mencintaimu. Aku wasiatkan kepadamu wahai Muadz agar kamu jangan pernah
meninggalkan doa di akhir shalat, ‘Ya Allâh tolonglah aku untuk berdzikir
kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadah kepada-Mu.’” (HR.
Ahmad no. 22119, At-Tirmidzi no. 1522, dan An-Nasai no. 1303. Dinilai shahih Al-Albani
dan Al-Arna`uth)
Masing-masing perawi berwasiat
kepada muridnya (إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ). Muadz berwasiat
kepada Ash-Shunabihi, Ash-Shunabihi kepada Abu ‘Abdirrahman, Abu ‘Abdurrahman
kepada ‘Uqbah bin Muslim, dan begitu seterusnya.
***
١٢
- عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ مَرْوِي فَوْقَ مَا
ثَلَاثَهْ
Hadits ‘aziz adalah
yang perawinya dua atau tiga, dan hadits masyhur perawinya
lebih dari tiga
Ditinjau dari jumlah generasi
yang meriwayatkan hadits, hadits dibagi dua: mutawatir dan
ahad. Hadits ahad dibagi tiga: gharib, ‘aziz, dan masyhur. Gharib akan
datang pada pembahasan berikutnya.
Secara bahasa ‘aziz artinya
kedatangan yang lain dari arah lain. Secara istilah artinya hadits yang
diriwayatkan oleh dua perawi pada setiap thabaqat (tingkatan
generasi) dimulai setelah thabaqatShahabat. Ditentukan hanya satu
Shahabat karena seorang Shahabat adalah hujjah yang kuat dan menyendirinya
mereka tidak berbahanya selagi tidak ada Shahabat lain yang menyelisihinya.
Adapun ucapan Nazhim bahwa jumlahnya dua atau tiga, karena memang ada khilaf di
dalamnya. Muhadditsin seperti Ibnu Shalah, Al-‘Iraqi, dan An-Nawawi menganggap
dua atau tiga, sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkan hanya dua, dan ini
yang lebih kuat.
Ibnu Hajar memberikan contohnya
dalam Nuzhatun Nazhar (hal. 70) sebuah hadits dari Anas bin
Malik dan Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
“Salah seorang di antara kalian
tidak (sempurna) beriman hingga aku lebih dicintainya melebihi orangtuanya,
anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari no. 14-15
dan Muslim no. 44)
Yang meriwayatkan dari Anas hanya
Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz, yang dari Qatadah hanya Syu’bah dan Sa’id, yang dari
‘Abdul ‘Aziz hanya ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits. Setelah itu banyak orang yang
meriwayatkannya.
Faidah berharga mengumpulkan
jalan periwayatan sehingga mencapai ‘aziz atau masyhur bermanfaat
dalam mengangkat hadits lemah kepada hasan lighairih selagi kedha’ifannya
ringan.
Adapun masyhur diriwayatkan
minimal tiga perawi dalam semua thabaqat yang tidak sampai
mencapai derajat mutawatir (10 lebih perawi dalam satu thabaqah).
Definisi jumhur ini berbeda dengan Nazhim yang jumlahnya minimalnya empat.
Jumlah perawi mutawatir melebihi masyhur dan
ada yang mengatakan batas minimal 10 perawi pada setiap thabaqat.
Contoh hadits masyhur adalah
hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ
يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ،
فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا» قَالَ الفِرَبْرِيُّ: حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ، قَالَ:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
Yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Amr
tiga lebih: Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair bin Awwam, dan Khaitsamah. Yang
meriwayatkan dari ‘Urwah adalah anaknya, Abil Aswad, Az-Zuhri, Yahya bin Abi
Katsir, dan lainnya. Yang dari Hisyam bin ‘Urwah ada putranya Muhammad, Hammad
bin Zaid, Muhammad bin Ajlan, Malik, dan Jarir. Begitu seterusnya dimana
tiap thabaqat minimal tiga perawi.
Inilah masyhur isthilahi.
Ada pula masyhur majazi yang memiliki definisi lain yaitu
setiap hadits yang terkenal di kalangan tertentu baik muttashil atau munqathi’, shahih atau dha’if,
ahad atau mutawatir.Masyhur ada banyak macamnya:
1. Masyhur di
kalangan muhadditsin saja
2. Masyhur di
kalangan muhadditsin, ulama, dan ahli fiqih
3. Masyhur di
kalangan semua orang termasuk orang awam
4. Dan masyhur lainnya.
***
١٣
- مُعَنْعَنٌ كَعَن سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ
يُسَمْ
Hadits mu’an’an contohnya:
dari Sa’id dari Karam, dan hadits mubham adalah jika ada
perawi yang tidak disebutkan namanya
Secara bahasa (مُعَنْعَنٌ) berasal dari (عَنْ) yang artinya “dari”.
Secara istilah adalah hadits yang diungkapkan dengan lafazh (عَنْ) tanpa kejelasan mendengar atau dikabarkan.
Di antara tujuan perawi
menggunakan shighah (عَنْ):
1. Mengaburkan
perawi-bawah sehingga terkesan ia mendengar langsung dari syaikhnya atau
dikabarkan kepadanya. Padahal ia mendengarkannya dari orang lain.
2. Pada
perawi tsiqah, biasanya untuk tujuan menyingkat.
Status hadits mu’an’an menurut
jumhur muhadditsin seperti Al-Bukhari dan Ibnul Madini adalah muttashildengan
tiga syarat:
1. Perawinya ‘adâlah.
2. Perawinya tidak
dikenal gemar tadlis (menyamarkan sanad dha’if sehingga
terkesan shahih)
3. Bertemunya
perawi dengan perawi yang dilafazhkan ‘an’anah. (Disebutkan
Ibnu ‘Abdilbarr dalam At-Tamhîd I/17)
Adapun Imam Muslim lebih longgar,
yaitu dengan mensyaratkan (المُعَاصِرَة مَعَ إِمْكَانِ اللِّقَاءِ) sezaman disertai
kemungkinan bertemu. Maksudnya, Ali Ibnul Madini dan Al-Bukhari mengharuskan
antar perawi ada kejelasan riwayat mereka bertemu, sementara Muslim tidak harus
karena yang penting sezaman disertai kemungkinan bertemu.
Adapun mubham secara
bahasa artinya belum jelas dan misterius. Adapun secara istilah telah
dijelaskan sendiri oleh Nazhim sebagaimana yang kita lihat dalam ucapan beliau
(مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ).
Mubham ada dua,
yaitu mubham isnad di mana ada nama perawi yang
tidak disebut seperti seorang lelaki mengabarkan kepadaku, dan kedua: mubham matan seperti
hadits bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bertanya tentang haidh. Setelah diselidiki
muhadditsin rupanya dia adalah Asma binti Abu Bakar.
Di antara tujuan perawi tidak
menyebut nama adalah:
1. Pada isnad,
biasanya untuk menyembunyikan perawi dha’if. Status asal mubham isnad adalah dha’ifsampai
ditemukan referensi namanya. Jika ternyata perawi tsiqah, maka
hukumnya shahih, tetapi jika tidak maka tidak.
2. Pada matan,
biasanya untuk menjaga aib, rahasia, atau kehormatan seseorang. Mubham matan tidak
membahayakan hadits jika keadaanya salah satu dari dua ini: yang mubham itu
adalah nama Shahabat atau yang menceritakannya adalah Shahabat atau orang tsiqah,
karena disepakati bahwa semua Shahabat‘adâlah sehingga tidak perlu
diperbincangkan.
***
١٤
- وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِي قَدْ نَزَلاَ
Setiap hadits yang perawinya
sedikit disebut hadits ‘ali, dan kebalikannya adalah hadits
nazil
Secara bahasa (العَالِي) artinya tinggi atau mulia. Secara istilah hadits ‘ali adalah
hadits yang thabaqat(generasi) perawi dalam sanadnya sangat
sedikit. Hadits ‘ali ada dua macam:
1. Mutlak, yaitu
sedikit dari sisi jumlah thabaqatnya di mana perawi yang bersambung
hingga ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat sedikit.
Contoh kitab hadits ‘ali adalah Al-Muwaththa` di
mana antara Imam Malik dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya
dua sampai tiga perawi. Juga kitab Musnad Ahmad dan Shahih Al-Bukhari di
mana antara mereka berdua dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya
empat hingga enam perawi.
2. Nisbi, yaitu
dilihat dari sisi ketinggian perawi di mana para perawinya adalah para imam
meskipun jumlah thabaqat perawi sanadnya banyak.
Faidah: Ada hadits ‘ali sekaligus
nisbi yang disebut dengan silsilah dzahabiyah (silsilah emas)
karenathabaqat para perawinya sedikit sekaligus para imam tsiqah,
yaitu sanad dalam kitab Muwaththa`: Malikdari Nafi’ dari Ibnu
‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Keistimewaan hadits ‘ali adalah
sedikitnya kemungkinan kesalahan perawi karena banyaknya perawi memungkinkan
terjadinya kesalahan periwayatan baik karena lupa atau keliru, apalagi manusia
itu tempat lupa dan salah. Kebalikannya adalah hadits nazil.
Secara bahasa (النَّازِل) artinya yang turun. Yang dimaksud di sini adalah hadits yang
jumlah perawinya bersambung ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih
banyak daripada hadits ‘ali. Mudahnya, misalnya hadits niat yang
diriwayatkan oleh Ahmad (no. 168) dalam Musnadnya dan Al-Baihaqi
(no. 1) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr. Antara Ahmad dengan Nabi
terdapat 5 perawi, sementara Al-Baihaqi terdapat 8 perawi. Maka hadits niat
milik Ahmad adalah hadits ‘ali sementara Al-Baihaqi
adalah nâzil.
***
١٥
- ومَا أَضَفْتَهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ ... قَوْلٍ وَفِعْلٍ فَهْوَ مَوْقُوفٌ
زُكِنْ
Apa yang disandarkan kepada para
Shahabat baik ucapan maupun perbuatan adalahhadits mauquf, mengertilah
Secara bahasa mauquf artinya
yang terhenti atau tertahan. Secara istilah adalah hadits yang berhenti sampai
Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum, baik ucapan maupun perbuatan,
baik muttashil maupunmunqhathi’ selagi tidak
ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya ke marfu’.
Adapun Al-Hakim mensyaratkan muttashil untuk disebut
hadits mauquf.
Jadi perbedaan marfu’, mauquf, dan maqthu’ adalah
jika marfu’ maka disandarkan ke Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, mauquf ke Shahabat, dan maqthu’ ke
Tabi’in, baik muttashil maupun munqathi’.
Terkadang hadits mauquf dihukumi marfu’ bila
ada qarinah seperti ungkapan sharih (jelas) marfu’ atau
yang semisalnya, atau yang berkaitan dengan keghaiban atau ushuluddin, karena
mustahil para Shahabat berbicara dari akalnya semata.
***
١٦
- وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ ... وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ
فَقَطْ
Hadits mursal adalah
bila perawi Shahabat gugur, dan katakanlah hadits gharib itu bila perawinya
hanya satu
Secara bahasa (مُرْسَلٌ) berasal dari (نَاقةٌ مُرْسَالٌ) artinya unta yang
cepat larinya, seolah-olah karena saking cepatnya hingga hilang sebagian
sanadnya.
Secara istilah hadits mursal adalah
hadits yang disandarkan Tabi’in kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam baik Tabi’in besar maupun Tabi’in kecil. (Disebutkan Ibnu
Shalah dalam Muqaddimah hal. 130) Definisi ini mengandung arti
bahwa dimungkinkan yang gugur ada yang selain Shahabat sehingga derajatnya
menjadi dha’if. Ini berbeda dengan definisi Nazhim di mana perawi
yang gugur adalah Shahabat, sementara Shahabat semuanya ‘udûl sehingga
tidak membahayakan atas tidak diketahuinya nama mereka. Padahal hadits mursal termasuk
hadits dha’if. Dalam literatur lain bait di atas diganti:
وَمُرْسَلٌ مِنْ فَوْقِ
تَابِعِي سَقَطَ
“Dan hadits mursal adalah
perawi di atas Tabi’in gugur.” Ini yang shahih.
Sementara gharib secara
istilah artinya asing atau menyendiri dari yang lain. Secara istilah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja dalam semua thabaqat.
Ini lanjutan dari pembahasan haditsahad (gharib, ‘aziz,
dan masyhur) dimuka.
***
١٧
- وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ ... إسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الأَوْصَالِ
Setiap hadits yang keadaan
sanadnya tidak bersambung disebut hadits munqathi’
Secara bahasa munqathi’ artinya
terputus. Berdasarkan bait di atas, Nazhim mengartikan munqathi’hanya
secara bahasa sehingga mencakup semua hadits yang terputus sanadnya seperti
hadits mursal danmu’dhal, berbeda dengan definisi
yang masyhur di kalangan muhadditsin. Menurut muhadditsin
haditsmunqathi’ artinya hadits yang gugur satu perawi atau lebih di
bawah Shahabat asal tidak berurutan sehingga tidak mencakup hadits mursal dan mu’dhal.
***
١٨
- والُمعْضَلُ السَّاقِطُ مِنهُ اثْنَانِ ... وَمَا أَتَى مُدَلَّساً نَوعَانِ
Hadits mu’dhal adalah
bila perawi yang gugur dua, dan hadits mudallas ada dua macam
١٩ - اَلْأَوَّلُ:
الْاَسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ ... يَنْقُلَ عَمَّنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ
Pertama: gurunya gugur dengan
penukilan di atasnya memakai (عَنْ) dan (أَنْ)
٢٠ - وَالثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ
يَصِفْ ... أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ يَنْعَرِفْ
Kedua: gurunya tidak gugur tetapi
menyifatinya dengan sifat yang tidak dikenal
Secara bahasa mu’dhal artinya
rumit, seolah-olah muhadditsin memakai ungkapan itu karena haditsmu’dhal memang
rumit disebabkan ada dua atau lebih perawi yang gugur secara berurutan. Jika
tidak berurutan masuk kategori hadits munqathi’.
Hukum hadits mu’dhal adalah dha’if bahkan
lebih dha’if daripada munqathi’.
Secara bahasa mudallas artinya
gelap, seolah-olah disebabkan keadaan riwayat itu tertutupi. Mudahnya, hadits
yang ada cacatnya tetapi oleh perawi memakai ungkapan tetentu untuk
menyembunyikan cacatnya.Mudallas ada dua macam, yaitu:
Pertama: tadlis isnad (تَدْلِيسُ الْإِسْنَادِ), yaitu seorang perawi yang meriwayatkan dari gurunya dengansighah (عَنْ) dan (أَنْ) untuk mengelabuhi orang seolah-olah dia mendengarnya langsung
dari gurunya, padahal dia mendapatkannya dari orang lain. Jadi antara dia dan
gurunya masih ada satu orang tapi dia ingin menyembunyikannya sehingga dalam
riwayatnya memakai ungkapan “dari” atau “bahwa”. Ini tidak lain bentuk tadlis dari
perawi mu’an’an yang sudah dibahas, dan jika bentuk tadlisnya
(أَنْ) maka disebut (مُئَنْئَنْ). Bentuk tadlis ini
amat dibenci muhadditsin hingga Syu’bah mengatakan, “Tadlis adalah teman
dusta,” juga, “Sungguh aku berzina lebih aku sukai daripada aku melakukan tadlis.”
Hukum haditsmudallas ini dha’if kecuali dengan
memakai ungkapan yang jelas menunjukkan dengar seperti: aku mendengar (سَمِعْتُ) yang disebut shighah tasmi’ dan menceritakan
kepadaku (حَدَّثَنَا) yang disebut shighah tahdits.
Kedua: tadlis syuyukh (تَدْلِيسُ الشُّيُوْخِ), yaitu perawi memang mendengar langsung dari gurunya tetapi ia
menyembunyikan identitas gurunya dengan ungkapan tertentu sehingga tidak
dikenal, seperti kunyahnya, nasabnya, atau sifatnya. Jenis tadlis ini
lebih ringan dari yang pertama.
Tujuan tadlis ada
banyak dan umumnya karena perawinya dha’if.
***
٢١
- وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ بِهِ الْمَلَا ... فَالشَّاذُّ وَالَمقْلُوبُ قِسْمَانِ
تَلَا
Hadits tsiqah yang menyelisihi
hadits jamaah disebut hadits syadz, dan hadits maqlubada
dua macam, bacalah
٢٢ - إبْدَالُ رَاوٍ
مَا بِرَاوٍ قِسْمُ ... وَقَلْبُ إسْنَادٍ لِمَتْنٍ قِسْمُ
Pertama: mengganti perawi dengan
perawi lain dan kedua: membalik sanad-matan
Secara bahasa (الشَّاذّ) artinya menyendiri dari mayoritas (المُنْفَرِدُ عَنِ
الْجُمْهُورِ). Secara istilah haditssyadz adalah hadits yang
diriwayatkan perawi tsiqah tetapi menyelisih perawi yang
lebih tsiqah darinya secara kedhabitan atau jumlahnya.
Jadi adakalanya perawi yang diselisihi itu lebih dhabit atau
jumlahnya lebih satu.
Tsiqah adalah
sifat perawi shahih sehingga tidak tercakup perawi hasan.
Untuk itu Al-Hafizh Ibnu Hajar membuat definisi yang lebih mencakup dengan
“Hadits yang diriwayatkan perawi maqbul tetapi
menyelisih perawi yang lebih utama darinya.”
Secara bahasa (المَقْلُوبُ) artinya terbalik/tertukar yaitu mengganti sesuatu dengan
lainnya. Nazhim mendefinisikannya lewat dua pembagian dari hadits maqlub ini:
1. Hadits
yang masyhur dengan perawi tertentu lalu ditukar dengan perawi
lain dalam satu thabaqatsehingga menjadi hadits gharib,
seperti menukar Salim dengan Nafi’.
2. Hadits
yang masyhur dengan sanad tertentu lalu
ditukar dengan sanad lain atau matan dengan matan lain.
Jenis ini masuk hadits maudhu’ (palsu). Terkadang terjadi
karena keraguan perawi atau tujuan untuk menguji kekuatan hafalan seperti yang
terjadi pada Al-Bukhari.
Contoh maqlub matan dengan matan lain
adalah hadits Abu Hurairah milik Muslim:
«وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ
شِمَالُهُ»
“Seseorang yang bersedekah dengan
sembunyi hingga tangan kanannya tidak tahu apa yang
disedekahkantangan kirinya.” (HR. Muslim no. 1031)
Matan ini maqlub karena matan yang masyhur adalah:
«وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ
يَمِينُهُ»
“Seseorang yang besedekah dengan
sembunyi hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang
disedekahkantangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1423, At-Tirmidzi no.
2391, An-Nasai no. 5380, Ahmad no. 9665, Ibnu Hibban no. 358, Ibnu Khuzaimah
no. 4486, dan lain-lain)
***
٢٣
- وَالفَرْدُ مَا قَيَّدْتَهُ بِثِقَةِ ... أَوْ جَمْعٍ أوْ قَصْرٍ عَلَى
رِوَايَةِ
Hadits fard adalah
yang periwayatannya diikat dengan satu perawi tsiqah, banyak, atau terbatas
Secara bahasa (الفَرْدُ) artinya ganjil (الوِتْرُ). Hadits fard ada
dua:
Pertama: fard mutlaq (فَرْدٌ مُطْلَقٌ), yaitu perawi tsiqah tafarrud (menyendiri)
dalam periwayatan di mana tidak ada perawi-perawi tsiqah lainnya
mengambil kecuali darinya. Hadits fard adalah turunan dari
haditsgharib di atas. Contohnya hadits Muslim dalam Shahihnya
no. 891:
وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ،
عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عُتْبَةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: سَأَلَنِي عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ: عَمَّا قَرَأَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي يَوْمِ الْعِيدِ؟ فَقُلْتُ: «بِاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ، وَق وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ»
Al-Hafizh Al-‘Iraqi menjelaskan,
“Hadits ini dari jalur riwayat Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini dari ‘Ubaidillah bin
‘Abdillah bin ‘Utbah dari Abu Waqid Al-Laitsi dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Hadits ini tidak diriwayatkan para tsiqah kecuali
dari Dhamrah.” (At-Tabsirah wat Tadzkirah I/220)
Kedua: fard nisbi (فَرْدٌ نِسْبِيٌّ), yaitu tafarrudnya dikaitkan dengan jamaah atau
perawi tertentu. Fardnisbi ada dua:
1. Jamaah tertentu
(جَمْع), seperti hadits yang diriwayatkan penduduk negeri tertentu
(misal penduduk Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah) sementara penduduk-penduduk
negeri lain/negerinya sendiri tidak meriwayatkan kecuali dari mereka. Contohnya
hadits Muslim no. 973 dalam Shahihnya:
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللهِ،
وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ - وَاللَّفْظُ لِابْنِ رَافِعٍ -، قَالَا: حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ، أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ، عَنْ
أَبِي النَّضْرِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَائِشَةَ،
لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، قَالَتْ: ادْخُلُوا بِهِ
الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ:
«وَاللهِ، لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
ابْنَيْ بَيْضَاءَ فِي الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ» قَالَ مُسْلِم: «سُهَيْلُ
بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ»
Al-Hakim mengomentari, “Penduduk
Madinah tafarrud dalam hadits ini dan seluruh perawinya
penduduk Madinah. Diriwayatkan juga dengan sanad lain dari
Musa bin ‘Uqbah dari ‘Abdul Wahid bin Hamzah dari ‘Abdullah bin Az-Zubair dari
‘Aisyah dan semuanya penduduk Madinah. Tidak ada penduduk lain yang berserikat
dengan mereka dalam hadits ini.” (Ma’rifat Ulûmil Hadîts hal. 97)
2. Orang tertentu
(قَصْر), misalnya ada seorang perawi tertentu yang mana tidak ada yang
meriwayatkan darinya kecuali perawi tertentu juga, meskipun ia juga
meriwayatkan dari jalur lain. Contohnya hadits At-Tirmidzi no. 1095 dalam Al-Jâmi’ yang
dishahihkan Al-Albani:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ وَائِلِ بْنِ دَاوُدَ، عَنْ ابْنِهِ،
عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ»:
«هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ»
Ibnu Thahir mengomentarinya
dalam Athrâful Gharâ`ib, “Hadits ini gharib dari
hadits Bakar bin Wa`il, Wa`il bin Dawud tafarrud, dan tidak ada
yang meriwayatkan darinya selain Sufyan bin ‘Uyainah.” (At-Tabshirah wat
Tadzkirah I/218)
***
٢٤
- وَمَا بِعِلَّةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَا ... مُعَلَّلٌ عِنْدَهُمُ قَدْ عُرِفَا
Hadits yang cacatnya tersembunyi
atau tersamar disebut hadits mu’allal menurut pengertian ahli
hadits
Definisi hadits mu’allal (memiliki ‘illat)
telah disinggung pada pembahasan syarat hadits shahih bahwa
secara bahasa ‘illat artinya penyakit atau cacat, tepatnya
penyakit atau cacat tersembunyi. Maksudnya di sini, hadits yang memiliki cacat
tersembunyi atau samar sehingga yang nampak adalah shahih. Cacat
tersembunyi ini hanya diketahui oleh pakar hadits yang mendalam seperti Abu
Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Ali Ibnul Madini, Yahya bin Ma’in,
Al-Bukhari, Muslim, Ad-Daruquthni, dan yang semisalnya. Sebab, untuk
mengetahui ‘illat suatu hadits diharuskan mengumpulkan
seluruh tatabu’ wa thuruq (jalur periwayatan) yang ada lalu
diteliti.
Hadits mu’allal termasuk
hadits dha’if tetapi terkadang ada yang shahih seperti
perawi tsiqah digantitsiqah lain. Mu’allal terjadi
pada sanad dan matan. Al-Hakim menyebutkan
dalam Al-Ma’rifah hal. 119 sepuluh jenis ‘illat dan
yang tidak beliau sebutkan lebih banyak lagi.
Cara mengetahui ‘illat hadits
ada 4:
1. Mengumpulkan
semua tatabu’ wa thuruqul hadits.
2. Menganalisa
perbedaan antar riwayat yang ada.
3. Membandingkan
tingkat ketsiqahan perawi antar riwayat.
4. Baru ditentukan
riwayat yang ber’illat.
Contoh mu’allal sanad adalah
hadits An-Nasa`i no. 4477 yang dishahihkan Al-Albani:
أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الْحَمِيدِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مَخْلَدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّ بَيِّعَيْنِ لَا بَيْعَ
بَيْنَهُمَا حَتَّى يَتَفَرَّقَا إِلَّا بَيْعَ الْخِيَارِ»
Di sana tertulis ‘Amr bin Dinar
padahal yang benar ‘Abdullah bin Dinar. ‘Illat ini kemungkinan dari keraguan
perawi di bawahnya: Makhlad atau ‘Abdulhamid bin Muhammad. ‘Illat ini tidak
berbahaya karena ‘Amr maupun ‘Abdullah sama-sama perawi shahih.
Sanad ini berlainan dengan apa yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhari no. 2113,
Abu Dawud no. 3454, An-Nasa`i no. 4465 & 4475, Ahmad no. 4566, dan lainnya
di mana yang tercantum ‘Abdullah bin Dinar bukan ‘Amr bin Dinar. Hadits ini
juga diriwayatkan dari jalur Nafi’ dari Ibnu ‘Umar oleh Al-Bukhari no. 2108 dan
Muslim no. 1531.
Contoh mu’allal matan adalah
hadits Muslim no. 399 dalam Shahihnya:
حَدَّثَنَا مُحمَّدُ
بْنُ مِهْرَانَ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ،
أَخْبَرَنِي، إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ [وَعَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَيْهِ يُخْبِرُهُ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ قَالَ]: صَلَّيْتُ خَلَفَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ،
فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا
يَذْكُرُونَ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي
آخِرِهَا
Matan (فَكَانُوا
يَسْتَفْتِحُونَ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا يَذْكُرُونَ
{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا) tidak terdapat dalam riwayat yang masyhur seperti
Al-Bukhari no. 743, At-Tirmidzi no. 246, Abu Dawud no. 782, An-Nasa`i no. 902,
Ibnu Majah no. 813, Ahmad no. 12084, Ibnu Khuzaimah no. 491, dan lainnya. Jadi
tambahan tersebut dari perawi yang menyangka ucapan Anas di atas menafikan
basmalah hingga ia pun menambah di akhir hadits, “Mereka membukanya dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ) tanpa menyebut (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) di awal bacaan maupun di akhirnya.” Ini keliru, yang benar
mereka membacanya tetapi dengan suara lirih sebagaimana yang terdapat dalam
hadits-hadits yang lain. Bahkan Asy-Syafi’i menganjurkan dikeraskan saat
shalat jahr. At-Tirmidzi menjelaskan hadits ini dalam Al-Jâmi’ no.
246 seusai membawakan hadits di atas, “Hadits ini diamalkan ahli ilmu dari
kalangan Shahabat, Tabi’in, dan generasi setelahnya, yaitu mereka memulai
bacaan dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ). Asy-Syafi’i
menjelaskan, ‘Makna hadits: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu
Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman memulai bacaan dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ) adalah mereka memulai bacaan dengan (الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ) sebelum surat-surat lain, dan bukanlah maknanya mereka tidak
membaca (بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ).’ Asy-Syafi’i berpendapat untuk dimulai dengan (بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dan dikeraskan bila shalat jahr (Maghrib,
‘Isya, dan Shubuh).” (Al-Jâmi’ II/15)
Pendapat Asy-Syafi’i ini shahih ada
dalilnya, di antaranya ucapan Anas bin Malik:
سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Di akhir hadits, Al-Hakim
dalam Al-Mustadrâk no. 853 menyatakan semua perawinya tsiqah hingga
akhir dan disetujui Adz-Dzahabi dalam At-Talkhîs.
Untuk itu, dalam masalah ini ada
keluasan dan lapang dada antara yang mengeraskan bacaan basmalah dengan yang
melirihkan, meski yang kuat dan masyhur adalah dengan
dilirihkan. Ini dipegang Imam Ahmad, Ibnul Qayyim, dan lainnya.
Mu’allal matan ini
termasuk kategori hadits mudraj (tambahan redaksi oleh
perawi). Akan datang pembahasan mudraj secara khusus, in syaa
Allâh.
***
٢٥
- وَذُو اخْتِلاَفِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ ... مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ
Hadits yang sanad atau matannya
berbeda disebut hadits mudhtharib menurut ahli hadits
Secara bahasa mudhtharib artinya
(مُخْتَلٌّ) yaitu goncang, tidak teratur, bingung, tidak seimbang, tidak
normal, dan sakit pikiran. Secara istilah hadits mudhtharib adalah
hadits yang diriwayatkan seorang atau banyak perawi dalam bentuk redaksi yang
berbeda dengan riwayat yang masyhur, padahal sama-sama kuat
sehingga tidak bisa ditarjih (ditentukan yang kuat) karena tidak mungkin
dijama’ (digabungkan).
Idhthirab (kegoncangan)
ini kebanyakan terjadi pada sanad tetapi kadang terjadi juga
pada matan. Ia termasuk hadits dha’if.
Contoh muththarib sanad adalah
hadits Abu Dawud no. 689 dalam Sunannya yang dinilai dha’if Al-Albani:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ،
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ،
حَدَّثَنِي أَبُو عَمْرِو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حُرَيْثٍ، أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ
حُرَيْثًا يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ
وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ»
Sanad hadits ini idhthirab karena
beberapa riwayat antara Ismail bin Umayyah sampai Abu Hurairah goncang
redaksinya hingga mencapai 10 lebih, di antaranya:
١- عَنْ إِسْمَاعِيلَ
بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ يُحَدِّثُهُ
عَنْ جَدِّهِ
٢-
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ جَدِّهِ حُرَيْثِ بْنِ سُلَيْمٍ
٣- عَنْ إِسْمَاعِيلَ
بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ أَبِيهِ
٤- عَنْ أَبِي
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ
Sya’aib Al-Arnauth mengomentari
ini dalam ta’liq Shahih Ibnu Hibban no. 2361, “Sanadnya dha’if karena
idhthirab dan kemajhulan (tidak dikenal) Abu Muhammad bin ‘Amr bin Huraits dan
kakeknya. Hadits ini didha’ifkan oleh Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Asy-Syafi’i,
Al-Baghawi, dan lain-lain. Ibnu Qudamah berkata dapatAl-Muharrar, ‘Ini
hadits mudhtharib isnad.’”
Contoh mudhtharib matan adalah
hadits Ibnu Majah no. 1789 yang dinilai dha’if munkar oleh
Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ
بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَبِي
حَمْزَةَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنْهَا سَمِعَتْهُ
تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَيْسَ فِي
الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ»
Penilaian Al-Albani akan kedha’ifan
hadits ini dilihat dari Syarik yang buruk hafalannya dan Abu Hamzah Maimun
Al-A’raj yang didha’ifkan Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Bukhari, dan
An-Nasa`i. Penilaian munkarkarena hadits dha’if ini
menyelisihi hadits shahih bahkan menyelisihi ayat, “Berikanlah
kepada kerabat haknya, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.” [17: 26]
Dari sisi idhthirab, matan ini
berlainan dengan riwayat-riwayat lain padahal satu sanad, misalnya
riwayat At-Tirmidzi no. 660 yang dinilai dha’if Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الطُّفَيْلِ،
عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ
بِنْتِ قَيْسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ
فِي المَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ» هَذَا حَدِيثٌ إِسْنَادُهُ لَيْسَ بِذَاكَ،
وَأَبُو حَمْزَةَ مَيْمُونٌ الأَعْوَرُ يُضَعَّفُ، وَرَوَى بَيَانٌ وَإِسْمَاعِيلُ
بْنُ سَالِمٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ هَذَا الحَدِيثَ قَوْلَهُ، وَهَذَا أَصَحُّ
Sungguh mengejutkan sama-sama
dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fathimah tetapi yang itu
meniadakan dan yang ini menetapkan. Maksud hadits At-Tirmidzi ini, disamping
harta memiliki hak zakat juga memiliki hak lain seperti yang tertera dalam
Al-Isra` ayat 26 di atas. Ini yang benar. Kemudian At-Tirmidzi menjelaskan
bahwa sanad ini keliru karena yang benar ucapan ini milik
Asy-Sya’bi yang diriwayatkan Bayan dan Isma’il bin Salim.
***
٢٦
- وَالُمدْرَجَاتُ فِي الْحَدِيثِ مَا أَتَتْ ... مِنْ بَعْضِ أَلْفَاظِ
الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ
Hadits mudraj adalah
hadits yang kemasukan sebagian lafazh perawi
Secara bahasa (الإدراج) artinya kemasukan (الإدخال). Secara istilah
hadits mudraj adalah hadits yang di sanadnya atau matannya
ketambahan lafazh yang bukan darinya yang dimasukkan oleh perawi tanpa
menjelaskan tambahan itu sehingga seolah-olah bagian dari hadits. Tambahan ini
tidak boleh diyakini bagian hadits tersebut dan larangan ini ijma muhadditsin
dan ahli fiqih.
Idraj ini memiliki tujuan
tertentu dari perawi, seperti:
1. Menjelaskan
tafsir hadits, makna kata gharib, atau kesimpulan perawi.
2. Agar ucapannya
yang dianggap baik itu diterima manusia.
3. Karena keliru.
Yang ini umumnya terjadi pada sanad.
Mudraj terjadi
pada sanad dan matan. Contoh mudraj sanad adalah
riwayat At-Tirmidzi no. 3182:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: «أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ
خَلَقَكَ»، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ
أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ»، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: «أَنْ تَزْنِيَ
بِحَلِيلَةِ جَارِكَ». هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ
قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، وَالأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
At-Tirmidzi mendapatkan hadits
ini dari dua jalur: Muhammad bin Basyar dan Bundar. Riwayat Bundar benar tetapi
riwayat Muhmmad bin Basyar keliru karena riwayat Washil dari Wa`il tanpa ‘Amr
bin Syurahbil, adapun riwayat Manshur dan A’masy dari Wa`il memang benar
melalui ‘Amr bin Syurahbil. Riwayat Washil tanpa ‘Amr ini bisa diketahui dari
riwayat lain seperti yang tertera dalam riwayat Al-Bukhari no. 4761,
At-Tirmidzi no. 3183, dan An-Nasa`i no. 4014. At-Tirmidzi menjelaskan setelah
membawakan sanad lain:
عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ
أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَحْوَهُ. هَكَذَا رَوَى شُعْبَةُ، عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَمْرَو بْنَ شُرَحْبِيلَ
Ini artinya ada kesalahan
penambahan satu orang dalam riwayat Muhammad bin Basysyar di atas sehingga ia
termasuk hadits mudraj.
Contoh mudraj matan adalah
hadits Al-Bukhari no. 2541:
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ المُسَيِّبِ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لِلْعَبْدِ المَمْلُوكِ الصَّالِحِ أَجْرَانِ، وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالحَجُّ وَبِرُّ أُمِّي،
لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَمُوتَ وَأَنَا مَمْلُوكٌ»
Sekilas lafazh (وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ...) adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena
ketiadaan pemisah dengan sebelumnya, padahal ia adalah ucapan Abu Hurairah. Ini
diketahui dari riwayat-riwayat lain yang banyak yang menunjukkan demikian,
misalnya riwayat Muslim no. 1665, Ahmad no. 9224, Al-Baihaqi no.
15809 dalam Al-Kubrâ, dan Abu ‘Awanah no. 6086 dalam Al-Mustakhrâj dengan
lafazh (وَالَّذِي
نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ). Kemungkinan ini terjadi karena kesalahan perawi atau Abu
Hurairah mengucapkannya beberapa kali kepada beberapa muridnya dalam kesempatan
berbeda-beda dan sebagian tidak diberi pemisah karena sudah dikenal oleh
selainnya bahwa itu tambahan darinya.
***
٢٧
- وَمَا رَوَى كُلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِهْ ... مُدَّبَّجٌ فَاعْرِفْهُ حَقًّا
وَانْتَخِهْ
Setiap hadits yang diriwayatkan
oleh perawi segenerasi dari saudaranya adalah hadits mudabbaj, maka
ketahuilah ini dengan baik
Secara bahasa mudabbaj artinya
yang diperindah atau dihiasi. Secara bahasa (الأقران) artinya semasa atau
sezaman, maksudnya para perawi yang saling berdekatan dalam umur atau sanad.
Jika dua perawiaqran saling meriwayatkan satu dengan lainnya
disebut mudabbaj. Mudabbaj bisa terjadi pada
generasi:
1. Shahabat,
seperti ‘Aisyah dari Abu Hurairah dan sebaliknya.
2. Tabi’in,
seperti Az-Zuhri dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘aziz dan sebaliknya.
3. Tabi’ut
Tabi’in, seperti Malik dari Al-Auza’i dan sebaliknya.
4. Dan generasi
berikutnya.
Hadits dengan jenis ini sangat
langka sekali laksana langkanya pemuda yang jamaah di masjid. Contoh
hadits aqran tetapi belum mudabbaj, yaitu hadits
Al-Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الجُعْفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ
العَقَدِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ»
Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengomentari, “Di hadits yang disebutkan ini ada riwayat aqran yaitu
‘Abdullah bin Dinar dan Abu Shalih karena keduanya Tabi’in. jika ditemukan
riwayat Abu Shalih darinya, jadilah iamudabbaj.” (Fathul Bârî I/53)
***
٢٨
- مُتَّفِقٌ لَفْظاً وَخَطّاً مُتَّفِقْ ... وَضِدُّهُ فِيمَا ذَكَرْنَا
المُفْتَرِقْ
Hadits yang lafazh dan khat
(tulisan) perawi sama disebut hadits muttafiq, dan kebalikannya apa
yang kami sebutkan adalah hadits muftariq
Secara bahasa muttafiq artinya
yang disetujui, bersatu pendapat, dan bersepakat. Muftariq artinya
berbeda, terpecah, berseberangan, dan tidak sama. Maksud hadits muttafiq muftariq adalah
hadits yang terdapat perawi yang namanya, ayahnya, atau nasabnya sama dengan
perawi lain baik secara lafazh (ucapan) maupun khat (tulisan) tetapi beda
orang. Mudahnya, Ahmad bin Ja’far bin Hamdan dalam satu zaman ada 5 orang
dengan nama itu. Dari kesamaan nama ini mereka muttafiq tetapi muftariq dari
sisi beda orang.
Al-Khathib Al-Baghdadi memiliki
kitab yang menghimpun hingga 1500 lebih perawi muttafiq muftariqberjudul Al-Muttafiq
wal Muftariq. Sebagai contoh:
1. Anas bin Malik
berjumlah 5 orang.
2. Ibrahim bin
Yazid ada 14.
3. Ibrahim bin
Musa ada 12.
4. Jabir bin
‘Abdillah ada 7.
5. Muhammad bin
Aban ada 10.
6. Muhammad bin
Salamah ada 14.
7. Yahya bin Sa’id
ada 16.
Manfaat mengetahui ini untuk
membedakan perawi yang shahih dari yang dha’if.
***
٢٩
- مُؤْتَلِفٌ مُتَّقِقُ الخَطِّ فَقَطْ ... وَضِدُّهُ مُخْتَلِفٌ فَاخْشَ
الْغَلَطْ
Hadits mu`talif adalah
jika hanya khat nama perawi yang sama, dan kebalikannya adalah hadits
mukhtalif, maka hati-hatilah jangan salah
Secara bahasa mu`talif artinya
yang disatukan atau diselaraskan. Mukhtalif artinya yang berbeda
dan menyelisihi. Mu`talif mukhtalif mirip muttafiq muftariq bedanya
yang sama hanya khatnya saja (lafazh dan orangnya beda). Penulisan bahasa ‘Arab
zaman dulu belum memakai syakl (harakat) dan nuqthah(titik)
sehingga huruf sin bisa dibaca sa, si, atau su dan huruf sin dan syin ditulis
sama tanpa titik. Perawi yang tidak jeli terkadang salah membaca sehingga salah
orang.
Imam Ad-Daruquthni memiliki kitab
yang menghimpun perawi-perawi ini dalam kitabnya Al-Mu`talif
walMukhtalif. Sekedar contoh di hal. 247-248 disebutkan bab nama dengan
lafazh (ــرك). Perawi dengan khat ini ada tiga orang:
1. (بَرْك) bernama lengkap (البَرْك بن وَبَرة أخو كلب بن وَبَرة بن
حُلْوان بن عِمْران بن الحاف بن قُضَاعَة)
2. (بُرَك) bernama asli (عَوْف بن مالك بن ضُبَيْعَة بن قَيْس بن
ثَعْلَبة). Ada pula Burak lain yaitu (البُرَك بن عبد الله الخارجي) dan dialah yang mau membunuh Mu’awiyah tetapi justru terbunuh.
3. (تُرْك) ia adalah muqri` (ahli qiaraah dengan qiraah Hamzah) yang
mengambil qiraah dari ‘Abdurrahman bin Qaluq dan Sulaim bin Hamzah.
Hasilnya, (بَرْك) dan (بُرَك) termasuk mu`talif mukhtalif dari
sisi syakl, sementara (بُرَك) dengan (تُرْك) dari sisi nuqthah.
***
٣٠
- وَالْمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا ... تَعْدِيلُهُ لاَ يْحمِلُ
التَّفَرُّدَا
Hadits munkar adalah
yang perawinya menyendiri dan keadilannya tidak diakui saat menyendiri
Tiga hadits berikutnya (munkar, matruk, maudhu’)
terkait cacat perawi. Cacat perawi ada dua: sisi agama dan sisi hafalan.
Cacat perawi sisi agama ada 5:
1. Dusta (الكذب), maksudnya berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Ini dha’if paling berat dan haditsnya maudhu’.
2. Tertuduh
berdusta (متهما
بالكذب), maksudnya belum diketahui berdusta atas nama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tetapi dikenal pernah berdusta atas selain
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti dalam bersaksi,
berjanji, jaul-beli, atau muamalah lainnya. Hadits perawi ini adalah matruk.
3. Fasik (الفسق), artinya cacat agamanya karena maksiat atau menyimpang.
4. Bid’ah (البدعة)
5. Bertingkah
bodoh (الجهالة)
Cacat perawi sisi dhabt juga
ada 5:
1. (فحش الغلط) artinya hafalannya sangat buruk sehingga kesalahannya
mendominasi atau seimbang dengan benarnya
2. (سوء الحفظ) artinya hafalannya buruk
3. (كثرة الغفلة) artinya banyak lalai sehingga tidak mampu membedakan riwayat
yang salah dari yang benar
4. (كثرة الأوهام) artinya banyak wahm (sangkaan lemah)
5. (مخالفة الثقات) artinya riwayatnya menyelisihi para perawi tsiqah.
Secara bahasa munkar artinya
mengingkari dan menentang. Definisi munkar ada 2:
1. Definisi Nazhim
sebagaimana yang kita lihat. Maksud ‘keadilannya tidak diakui saat menyendiri’
adalah perawi cacat dari tiga sisi: (فحش الغلط), (كثرة الغفلة), dan (الفسق).
2. Hadits yang
diriwayatkan perawi dha’if dan menyelisihi para perawi tsiqah.
Ini yang masyhur dikenal para muhadditsin.
Jadi hadits munkar termasuk
hadits dha’if yang berat.
Contoh untuk definisi pertama
adalah hadits Ibnu Majah no. 3330 yang dinilai munkar oleh
Adz-Dzahabi:
حَدَّثَنَا أَبُو
بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ
الْمَدَنِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«كُلُوا الْبَلَحَ بِالتَّمْرِ، كُلُوا الْخَلَقَ بِالْجَدِيدِ، فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَغْضَبُ، وَيَقُولُ بَقِيَ ابْنُ آدَمَ، حَتَّى أَكَلَ الْخَلَقَ
بِالْجَدِيدِ»
Al-Haitsami menyatakan bahwa Abu
Zakaria Yahya bin Muhammad didha’ifkan Ibnu Ma’in dan lainnya. An-Nasa`i
menyatakan bahwa ini hadits munkar. Abu Zukair tafarrud dan
ia syaikh shalih yang haditsnya dikeluarkan Imam Muslim sebagai mutaba’ah saja.
Hanya saja tafarrudnya tidak diakui.” (At-Tadrîb I/230)
Contoh untuk definisi kedua
adalah apa yang cantumkan Ibnu Abu Hatim dalam ‘Ilalul Hadîts no.
2043:
سُئِلَ أَبُو زُرْعَةَ
عَنْ حديثٍ رَوَاهُ حَبِيبُ بنُ حَبِيب أَخُو حَمْزَةَ بْنِ حَبِيب، عَنْ
أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ العَيْزار بْنِ حُرَيْث، عَنِ ابْنِ عبَّاس؛ قَالَ: قال
رسولُ الله: «مَنْ أَقَامَ الصَّلاَةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَحَجَّ البَيْتَ،
وَصَامَ رَمَضَانَ، وَقَرَى الضَّيْفَ؛ دَخَلَ الجَنَّةَ»
Abu Zur’ah mengomentari, “Ini
hadits munkar karena yang benar mauquf dari
Ibnu ‘Abbas.” Abu Hatim mengomentari, “Ini hadits munkar karena
para perawi tsiqat selainnya meriwayatkan dari Abi Ishaq secaramauquf ma’ruf.”
Adapun riwayat mauquf diriwayatkan Al-Baihaqi no. 9147 dalam Syu’abul
Imân dan ‘Abdurrazzaq no. 20529 dalam Al-Mushannaf:
أَخْبَرَنَا أَبُو
الْحُسَيْنِ بْنُ بُشْرَانَ، أَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّفَّارُ، نَا
أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ، نَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ حُرَيْثٍ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَتَاهُ
الْأَعْرَابُ، فَقَالُوا: إِنَّا نُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَنُؤْتِي الزَّكَاةَ،
وَنَحُجُّ الْبَيْتَ، وَنَصُومُ رَمَضَانَ، وَإِنَّ أُنَاسًا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
يَقُولُونَ: إِنَّا لَسْنَا عَلَى شَيْءٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مَنْ أَقَامَ
الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَحَجَّ الْبَيْتَ، وَصَامَ رَمَضَانَ، وَقَرَى
الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Hadits pembanding yang shahih ini
disebut hadits ma’ruf.
***
٣١
- مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ ... وَأَجْمَعُوا لِضَعْفِهِ فَهْوَ
كَرَدْ
Hadits matruk adalah
yang perawinya satu menyendiri dan mereka sepakat atas kelemahannya, sehingga
ia tertolak
Matruk artinya
ditinggal, seolah-olah karena kecacatan perawinya ditinggal haditsnya. Definisi
haditsmatruk menurut An-Nazhim adalah hadits yang perawinya
disepakati kedha’ifannya karena muttaham bil kadzib (tertuduh
berdusta). Maksud muttaham bil kadzib di sini, dia dikenal
berdusta dalam muamalah meskipun tidak diketahui pernah berdusta atas nama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi dikhawatirkan
kedustaannya ini akan menggiringnya untuk berdusta atas nama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Untuk itu ia disebut tertuduh berdusta atas nama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Contoh hadits matruk adalah
riwayat Ibnu Majah no. 1337 yang didha’ifkan Al-Albani:
حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ قَالَ:
حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو رَافِعٍ، عَنِ ابْنِ
أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ السَّائِبِ، قَالَ: قَدِمَ
عَلَيْنَا سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، وَقَدْ كُفَّ بَصَرُهُ، فَسَلَّمْتُ
عَلَيْهِ، فَقَالَ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: مَرْحَبًا بِابْنِ
أَخِي، بَلَغَنِي أَنَّكَ حَسَنُ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ، سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ
بِحُزْنٍ، فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا،
وَتَغَنَّوْا بِهِ فَمَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا»
Al-Haitsami mengatakan bahwa di
dalam sanadnya ada Abu Rafi’ Isma`il bin Rafi’ yang dha’if matruk.
***
٣٢
- وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ ... عَلَى النَّبِي فَذلِكَ المَوْضُوعُ
Hadits dusta yang direka-reka dan
dibuat-buat atas nama Nabi itulah hadits maudhu’
Maudhu’ artinya
palsu. Definisinya sebagaimana yang telah diberikan Nazhim. Hadits maudhu’ adalah
hadits dha’if paling jelek dan buruk bahkan sebagian
muhadditsin menyebutnya hadits bathil atau la asla lah (tidak
ada asal usulnya). Maksud la asla lah ada dua, yaitu tidak ada
sanadnya atau ada sanadnya tetapi hanya sampai ke Shahabat atau Tabi’in.
Hukum meriwayatkan hadits dha’if haram
kecuali disertai penjelasan kedha’ifannya. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ»
“Siapa menyampaikan hadits atas
namaku dengan hadits yang dipandang dusta, maka ia salah satu dari dua
pendusta.” (HR. Muslim I/8 dalam Muqaddimah dan At-Tirmidzi
no. 2662)
Hukuman bagi pemalsu hadits
adalah Neraka. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِيْ
أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ»
“Sungguh benar-benar
menghalangiku untuk banyak menyampaikan hadits kepada kalian sabda NabiShallallahu
‘Alaihi wa Sallam, ‘Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah
dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.’” (HR. Al-Bukhari no. 108 dan Muslim no. 2)
Bagaimana cara mereka membuat
hadits maudhu’? Minimal ada dua cara:
1. Matan dan sanad darinya.
Ia memalsukan ucapan darinya lalu dibuatlah sanadnya sendiri.
2. Hanya sanad darinya.
Ia mengambil ucapan ahli hikmah atau selainnya lalu dibuatlah sanadnya
sendiri.
Bagaimana cara mengetahui
hadits maudhu’? Di antaranya lewat:
1. Pengakuannya
sendiri, seperti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam yang mengaku memalsukan
hadits-hadits tentang keutamaan surat-surat Al-Qur`an dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma.
2. Menguji
biografi perawinya, seperti kapan lahirnya, jika ternyata lahirnya sebelum
tanggal wafatnya dan ia menyendiri dalam periwayatan menunjukkan kedustaannya.
3. Keadaan perawi,
seperti orang Rafidhah haditsnya tentang keutamaan ahlul bait.
4. Keadaan
riwayat, seperti uslub hadits yang rancau.
Apa tujuan para pemalsu hadits?
Ada banyak sebab, di antaranya:
1. Taqarrub kepada
Allâh, yaitu dia membuat hadits palsu agar orang-orang semakin taqarrub kepada
Allâh seperti motifasi beramal, menakuti amal jelak, dan lainnya. Misalnya
Maisarah bin ‘Abdirabbih. Ibnu Mahdi berkata kepadanya, “Dari mana kamu dapat
hadits-hadits ini bahwa siapa yang membaca demikian dapat pahala demikian?”
Jawabnya, “Aku memalsunya untuk memotifasi manusia.” (Tadrîbur Râwî I/283)
2. Membela madzhab
atau sekte, misalnya Rafidhah yang meriwayatkan, “Ali manusia terbaik dan siapa
yang ragu kafir.”
3. Menciderai
Islam, yang dilakukan oleh kaum zindiq seperti Muhammad bin Sa’id Asy-Syami
Al-Mashlub di mana meriwayatkan dari Anas marfu’, “Aku penutup para
Nabi dan tidak ada Nabi setelahku kecuali jika Allâh menghendaki.”
4. Menjilat
penguasa, maksudnya orang yang lemah imannya memalsukan hadits demi mencari
muka seperti Ghiyats bin Ibrahim An-Nakhai Al-Kufi besama Amirul Mukminin
Al-Mahdi.
5. Pekerjaan dan
rezki, seperti tukang cerita yang mengelabuhi manusia agar memberinya seperti
Abu Sa’id Al-Madaini, atau tukang semangka yang menyebutkan keutamaan semangka.
6. Popularitas,
yaitu memalsukan hadits-hadits aneh dan ganjil yang tidak dimiliki syaikh
muhadditsin agar menarik perhatian manusia, seperti Ibnu Abu Dihyah dan Hammad
An-Nashibi.
Siapakah mufassir (ahli tafsir)
yang banyak menukil hadits maudhu’ tanpa menjelaskan
kepalsuannya? Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, dan
Asy-Syaukani dalam kitab tafsir mereka.
Di antara kitab generasi awal
yang menghimpun hadits-hadits maudhu’ adalah Al-Maudhû’at karya
Ibnul Jauzi. Hanya saja menurut peneliti, selesai menyusun kitab tersebut tidak
dikoreksi ulang —dan ini umumnya kitab beliau karena saking produktifnya
menulis dan kesibukan beliau— sehingga dalam kitab ini terdapat hadits dalam
kitab Shahih tetapi justru tertulis dha’if.
Contoh hadits palsu dengan sanad adalah
yang diriwayatkan Ibnu Majah no. 896 yang dinilai maudhu’ Al-Albani:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ:
أَنْبَأَنَا الْعَلَاءُ أَبُو مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ،
يَقُولُ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا رَفَعْتَ
رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ، فَلَا تُقْعِ كَمَا يُقْعِي الْكَلْبُ، ضَعْ
أَلْيَتَيْكَ بَيْنَ قَدَمَيْكَ، وَأَلْزِقْ ظَاهِرَ قَدَمَيْكَ بِالْأَرْضِ»
Al-Haitsami mengatakan bahwa
tentang Al-‘Ala: Ibnu Hibban dan Al-Hakim mengatakan bahwa dia meriwayatkan
dari Anas hadits-hadits maudhu’. Al-Bukhari dan selainnya mengatakan
haditsnya munkar. Ibnul Madini mengatakan ia biasa memalsukan
hadits.
***
٣٣
- وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ المَكْنُونِ ... سَمَّيْتُهَا مَنْظُومَةَ
البَيْقُونِي
Sungguh nazham ini seperti
mutiara yang tersimpan dan aku menamainya Manzhumah Al-Baiquniyyah
٣٤ - فَوْقَ
الثَّلاَثِيْنَ بِأَرْبَعٍ أَتَتْ ... أَقْسَامُهَا تَمَّتْ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ
Berisi 34 bagian yang sempurnya
dan ditutup dengan baik